Maraknya fenomena mal sepi di ibu kota masih terjadi hingga awal 2023. Pasalnya, mal-mal tersebut berada di lokasi yang strategis dan mudah dijangkau oleh transportasi umum, termasuk di kawasan Glodok, Jakarta Barat.
Namun, mengapa masih saja ditinggalkan oleh pengunjungnya?
Dewan Penasehat Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Belanja Indonesia (HIPPINDO) Tutum Rahanta mengatakan, pusat perbelanjaan atau mal yang saat ini mulai ditinggalkan pengunjung itu karena dulunya mereka didesain sebatas untuk kegiatan jual beli atau perdagangan saja. Hal itu yang menjadi permasalahan saat ini, sebab seiring perkembangan zaman, kini fungsi pusat perbelanjaan telah bergeser menjadi suatu tempat berkumpul, dan ada juga sedikit rekreasi.
“Ada kelompok-kelompok pusat belanja yang dulu didesain pada zamannya itu seakan kios yang memang diperjualbelikan. Itu memang ada permasalahan, saat ini dengan kemajuan waktu dan zaman, kini orang-orang perlu kenyamanan. Nah pusat belanja yang memang menjadi tempat berkumpul, ada sedikit rekreasi itu masih tetap bertahan, masih ramai,” kata Tutum kepada CNBC Indonesia, Senin (9/1/2023).
Pada zamannya, mal-mal yang sepi sekarang ini dulunya pernah ramai didatangi pengunjung, karena itu merupakan suatu hal yang baru bagi masyarakat pada zaman tersebut. Namun dengan fungsi dari pusat perbelanjaan yang kini sudah bergeser, ditambah kurangnya dukungan resources atau produk-produk yang mampu membuat mereka bertahan, pusat perbelanjaan tersebut tidak hanya bersaing dengan pusat perbelanjaan lainnya, melainkan juga bersaing dengan toko online dan e-commerce.
“Dulu belum ada e-commerce. Orang merasa wah ke ITC atau Glodok sesuatu yang baru ya. Nah ternyata itu tidak bertahan lama karena mereka tidak didukung oleh resources atau produk-produk yang bisa membuat mereka bertahan. Beda dengan trendsetter di luar negeri yang mereka tiru sebelumnya, di situlah masalah. Nah itu yang akhirnya menjadi sepi,” ujarnya.
“Kalau kita lihat, area-area pusat belanja yang dulu berjaya, seperti Glodok itu sepi karena perkembangan zaman, masalahnya penjualan produk-produk demikian sudah bisa dilakukan secara online,” tambah Tutum.
Selain karena produk-produk yang dijual tersebut sudah bisa diperjualbelikan melalui toko online atau e-commerce, menurutnya, ketidaknyamanan transportasi umum juga bisa menjadi faktor pemicunya. Sebab, aksesibilitas dari transportasi umum merupakan faktor penting agar pusat perbelanjaan atau mal dapat tetap hidup.
“Analisa yang memang perlu kita cermatin adalah fenomena perkembangan area-area tersebut itu yang mempercepat kematian mereka. Ada yang namanya 3 in 1, ada yang namanya transportasi tidak nyaman, yang selebihnya perkembangan zaman. Produk-produk yang dijual di toko fisik tersebut bisa dijual secara online atau e-commerce,” terangnya.
Tutum menjelaskan alasan mengapa Plaza Semanggi atau Plangi kini sepi dari pengunjung, ia menyebut karena Plangi merupakan pusat perbelanjaan dengan size yang sangat tanggung sehingga itu lebih kepada pusat perbelanjaan meeting point. “Yang ditinggalkan orang karena memang ada campuran penyewaan kios-kios kecil di bawahnya yang membuat konsumen untuk membeli kebutuhannya tidak perlu pergi ke pusat perbelanjaan. Orang memerlukan sesuatu yang lebih wah, seperti Grand Indonesia,” ujarnya.
Adapun pusat perbelanjaan yang memang masih tetap bertahan dan bagus dalam hal tingkat kunjungan pengunjungnya adalah karena pusat perbelanjaan atau mal tersebut dikelola secara baik.
“Yang bisa kita katakan, Grand Indonesia, Plaza Indonesia, Plaza Senayan, Senayan City dan beberapa mal-mal di pinggiran seperti Central Park, Citraland, dan contoh pusat perbelanjaan lainnya yang masih ramai dikunjungi pengunjung,” katanya.