Penting belajar agama menggunakan sanad atau ijazah guru, namun jangan sampai denganya menegasikan kelompok lain, kata Buya Hamka
Hidayatullah.com | DALAM rubrik “Tanja Djawab” majalah Gema Islam (No. 89/V/1966), Buya Hamka pernah ditanya anak SMA dari Malang bernama Ichlas tentang persoalan sanad dalam belajar ilmu agama.
Ichlas saat itu bercerita bahwa dia punya abang. Si abang punya guru agama.
Kata guru agamanya, berlajar ilmu agama (Al-Qur`an, hadits dan seabagainya) harus bersanad. Sebab ilmu tidak sah tanpa sanad seorang guru.
Menurutnya, orang belajar agama tanpa guru bagaikan hidup tanpa amir (pemimpin, red). Dan bila tak punya amir, maka matinya masuk kategori jahiliyah.
***
Dalam jawabannya, Buya Hamka mengapresiasi maksud abang Ichlas mengenai pentingnya sanad dan guru. Belajar itu semestinya ada guru yang membimbing.
Hanya saja, menurut Hamka, ia benar dalam satu segi, tapi dapat ‘membahayakan’ dari segi yang lain, kalau semua digeneralisasi.
***
Seperti diketahui, dalam belajar agama lebih tepat memakai sanad atau ijazah guru. Makanya, kadang satu orang bisa mendapat banyak sanad karena belajar pada beberapa guru.
Sedangkan dalam pendidikan modern, ada yang dinamakan ijazah yang diberikan setelah siswa menyelesaikan tahapan belajar tertentu dan bisa lulus ujian.
Buya Hamka tetap menganggap baik cara pengambilan ilmu dengan sanad model klasik. Hanya saja kata Hamka, ada juga orang yang merasa telah mengambil sanad terjerumus kepada kultus, yang dampaknya menolak kelompok lain.
“Ditilik dari segi jang lain dan kenjataan sehari-hari jang kita lihat, menundjukkan bahwa Idjazah dari guru dan Isnad itu menimbulkan Kultus Perseorangan, memudja guru. Tidak ada guru jang sebenar guru sadja!. Tidak ada satu idjazah jang tulen ilmunja kalau bukan dari guru saja!”
Akibat kultus ini berakibat efek lain. Misalnya bersikap keras, menjadi fanatik, dan selain dari gurunya dianggap tak benar, dan yang benar hanyalah golongannya, tidak mau memperhatikan dasar pendirian orang lain, benci kepada orang yang tak sepaham dan efek buruk lainnya.
“Orang2 sematjam ini susah buat diadjak bitjara. Susah buat diadjak bertukar fikiran. Sebab segala ilmu didunia ini tidak ada jang boleh diterima, kalau tidak mendapat idjazah dari Sjaihch mereka sendiri,” kata Buya Hamka.
Faktanya, kata Buya Hamka, terkadang ijazah-ijazah atau sanad–sanad itu tidak menjadi ilmu yang dapat diketengahkan. Ia diambil semata-mata untuk membatasi diri dan memamerkan kebesaran guru kepada murid. Kadang-kadang sang guru secara eksklusif berpesan kepada murid agar tidak bergaul dengan orang lain.
Hamka dalam hal ini menyebutkan beberapa contoh di lapangan yang menyalahgunakan sanad dan ijazah guru.
“Umumnja mereka tidak mau bergaul ke tengah, karena dengan mengisolasikan diri itulah mereka merasa selalu menang dan selalu di pihak benar! Mereka enggan bahwa pendirian atau kebenaran mereka akan dapat diudji dan diperbandingkan dengan pendapat jang lain,” kata Hamka.
Dari penjelasan Buya Hamka, poin pentingnya di antaranya: sanad keilmuan itu memang penting (dalam pengertian perlu guru dan pembimbing otoritatif dalam belajar ilmu agama).
Hanya saja tidak boleh pada taraf menjadikan orang fanatik, bahkan mempergunakannya untuk kepentingan pribadi dan golongan sehingga menegasikan yang lain. Maka dalam hal ini, umat perlu hati-hati betul dalam penggunaan istilah ini.
Belum lagi pengertian sanad yang berbeda-beda antar golongan. Orang bermazhab salaf juga menyerukan ilmu harus ada sanad, kalangan tradisionalis salafaiyah juga mengaku harus bersanad.
Dulu –mungkin sampai sekarang– gerakan Darul Hadits, juga mengangkat masalah sanad, yang menganggap selain dari Hasan Ubaidah (sang guru besar-nya), maka sanadnya perlu ditinjau kembali.*/Mahmud Budi Setiawan
Sumber: Hidayatullah