9 C
London
Friday, April 19, 2024
HomeGlobal NewsFathul Muin adalah Kitab Fikih Islam, Menjelaskan Ketentuan Sholat

Fathul Muin adalah Kitab Fikih Islam, Menjelaskan Ketentuan Sholat

Date:

Related stories

10 Kerajaan Islam Tertua di RI, Ada yang Dekat dengan Selat Muria

Jakarta, CNBC Indonesia- Kerajaan Islam pernah menguasai Nusantara dan...

Film Kiblat Arahan Sutradara Bobby Prasetyo Memicu Kontroversi, Begini Sepak Terjangnya di Dunia Perfilman

Kontroversi film Kiblat arahan sutradara Bobby Prasetyo masih hangat dibicarakan oleh banyak orang...

Prabowo-Gibran Unggul Telak, Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud Disarankan Legowo, Sulit Buktikan Kecurangan TSM

TEMPO.CO, Jakarta – Direktur Eksekutif Institute for Democracy & Strategic Affairs...

4 Alasan Mengapa Nabi Isa yang Diperintahkan Allah untuk Membunuh Dajjal Jelang Kiamat

Nabi Isa merupakan salah satu nabi yang masih hidup hingga...

Apa yang Dimaksud dengan Masyarakat Islam yang Sebenar-benarnya?

Muhammadiyah memiliki visi yaitu terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya....
spot_imgspot_img


Fathul Muin adalah salah satu karya klasik penting dalam studi agama Islam. Kitab ini ditulis oleh seorang ulama terkemuka bernama Syaikh Zainuddin Abdul Aziz bin Abdul Salam al-Malibari al-Madani pada abad ke-14 Masehi. Fathul Mu’in menjadi salah satu rujukan utama dalam pemahaman agama dan fiqih (hukum Islam) di dunia Islam.

Fathul Muin berisi penjelasan yang komprehensif tentang berbagai aspek kehidupan Muslim, termasuk ibadah, etika, tata cara, dan hukum Islam. Kitab ini membahas beragam topik, mulai dari aqidah (keyakinan) hingga muamalah (hubungan sosial dan ekonomi), serta memberikan panduan praktis dalam menjalankan ajaran Islam sehari-hari.

Salah satu keunggulan Fathul Muin adalah bahasannya yang komprehensif dan mendalam. Syaikh Zainuddin mampu menggabungkan pendekatan teoretis, dengan pemahaman praktis dalam menyampaikan informasi agama. Fathul Muin mengutamakan pemahaman yang akurat dan berdasarkan dalil-dalil syariat (nash) yang sahih.

Fathul Muin juga memberikan perhatian khusus, pada masalah-masalah sosial yang dihadapi umat Islam pada masanya, seperti pernikahan, warisan, perdagangan, dan hukum pidana. Berikut ini informasi tentang Fathul Muin yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Senin (22/5/2023). 

Mengenal Kitab Fathul Muin

Mengutp dari laman immimpangkep, Fathul Muin adalah salah satu kitab fikih yang diakrabi di Pondok Pesantren.  Kitab karya Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari ini, menandai satu fase dalam perjalanan memahami studi fikih di kalangan santri, disebut-sebut sebagai salah satu  kitab standar bagi santri yang ingin mempelajari kitab klasik Madzhab Syafi’i dan merupakan syarah (komentar) dari kitab Qurrotul ‘Ain. 

Dari segi penulisannya, kitab fathul muin memiliki keunikan tersendiri daripada kitab fikih lainnya, yaitu ditulis dengan pembahasan awal Bab Shalat.  Hal ini sangat berbeda sekali dengan kitab-kitab fikih pada umumnya, yang memulai dengan Bab Thaharah (Bersuci). Dalam kitab fikih lain disebutkan syarat sholat hanya ada lima, yaitu menghadap kiblat, suci badan, pakaian dan tempat najis, suci dari hadats kecil dan besar, masuk waktu sholat dan menutup aurat.

Tapi dalam Kitab Fathul Muin ketika menjelaskan satu persatu, masih mampir-mampir ke pembahasan lainnya. Semisal syarat sholat harus suci dari hadats kecil, tentunya pembahasan ini masih berkaitan dengan bab wudhu’, maka pada bab pembahasan itu pula diterangkan wudhu beserta perinciannya. Seperti tata cara, kesunahan, hal-hal yang membatalkan hingga kasus-kasus yang menjadi topik menarik dan penting dari bab wudhu itu sendiri.

Dalam Kitab Fathul Muin ada beberapa “tanda”, semacam terminal pembahasan, yang disebut:

  1. Far’un, yaitu permasalahan cabang. Jadi ketika kita membahas tentang bab najis misalnya, Syekh Zainuddin akan membahas kasus tertentu yang biasa terjadi di masyarakat pada umumnya.
  2. Tanbihun (peringatan) dan Faidah (manfaat), dimana Syekh Zainuddin sudah mengantisipasi pembahasan yang mesti diberikan catatan khusus.
  3. Qoidah, yaitu selipan aplikasi kaidah fikih yang memudahkan mempelajari ilmu fikih.

Contohnya: أّنَّ مَا اَصَلُهُ الطَّهَارَةُ وَغَلَبَ الظَّنُّ تَنَجُّسَّهُ لَغَلَبَةِ النَّجَاسَةِ فِي مِثِلَهَ قَوْلَانِ مَعْرُوْفَانِ بِقَوْلَي الْاَصْلِ وَالظَّاهِرِ اَوِ الْغَالِبِ اَرَجَحُهُمَا اَنَّهٌ طَاهِرٌ

Artinya :

Sesungguhnya asal dari sesuatu itu apabila suci dan kemungkinan besar kemudian terdapat sesuatu yang menajiskannya, maka terdapat dua qoul yang masyhur: mengkuti hukum asal (suci) dan hukum kaprahnya (najis). Yang paling unggul dari dua pendapat tersebut adalah suci.

Teks kitab diatas merupakan implementasi dari kaidah fikih :

اَلْاَصْلَ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ

Artinya :

Hukum asal adalah tetapnya sesuatu atas keadaan sebelumnya.

Terjemah Kitab Fathul Muin pada Bab Shalat

Beberapa ucapan dan perbuatan tertentu, yang dimulai dengan takbir dan Ucapan dan perbuatan tersebut dinamakan “Salat”, karena salat menurut bahasa adalah doa. Salat-salat yang fardu ain itu lima kali dalam satu hari-satu malam, yang sudah diketahui dengan pasti dari agama. Oleh karena itu, kafirlah bagi orang yang menentangnya.

Salat fardu yang lima ini diwajibkan pada malam Isra, 27 Rajab, yaitu 10 tahun lebih 3 bulan terhitung sejak Nabi . Muhammad diangkat menjadi seorang Nabi. Salat Subuh pada tanggal 27 Rajab tersebut belum diwajibkan, karena belum diketahui cara-cara mengerjakannya. Salat Maktubah yaitu lima waktu, yang hanya wajib dikerjakan oleh setiap Muslim yang mukalaf, yaitu yang telah balig, berakal sehat, laki-laki atau selainnya, dan yang suci.

Orang Muslim mukalaf yang suci, apabila dengan sengaja menunda salat fardu hingga melewati waktu penjamakannya, malas mengerjakan namun masih berkeyakinan bahwa salat itu hukumnya wajib, lantas dia disuruh bertobat tapi tidak mau, maka wajib ditetapkan had atasnya yaitu dengan memancung leher. Jika salat tertinggal sebab ada halangan, misalnya tertidur atau lupa yang tidak karena lalim (main-main), maka dia sunah dengan segera menqadhanya.

Jika tertinggal salatnya karena uzur, maka dalam menqadhanya disunahkan mengerjakan salat secara tertib, yaitu mengerjakan salat Subuh sebelum Zhuhur, dan seterusnya. Sunah mendahulukan salat kadha sebelum salat Ada’ (tunai), jika tidak khawatir kehabisan waktu salat. 

Rukun-rukun Salat

Disebut juga dengan fardu-fardu salat. Dengan menghitung masing-masing thuma’ninah sebagai satu rukun tersendiri, maka jumlah rukun salat ada empat belas.

Niat (Intention)

Niat merupakan rukun pertama dalam salat dan harus dilakukan sebelum memulai salat. Niat ini berbeda-beda tergantung pada jenis salat yang akan dilakukan, seperti salat fardhu, salat sunnah, atau salat jenazah. Niat haruslah khusus dan dilakukan di dalam hati tanpa pengucapan kata-kata.

Berdiri (Qiyam)

Rukun kedua adalah berdiri tegak dalam posisi yang benar dan stabil. Saat berdiri, posisi kaki sebaiknya sejajar, telapak kaki rapat di lantai, dan pandangan mata menghadap ke tempat sujud. Selama berdiri, sebaiknya menjaga konsentrasi dan ketenangan.

Takbiratul Ihram

Rukun ketiga adalah mengangkat kedua tangan sejajar dengan telinga dan mengucapkan takbiratul ihram. Takbiratul ihram merupakan takbir pembuka yang menandakan memulainya salat. Dalam takbiratul ihram, diucapkan kalimat “Allahu Akbar” yang berarti “Allah Maha Besar”.

Membaca Al-Fatihah

Rukun keempat adalah membaca Surah Al-Fatihah setelah takbiratul ihram. Al-Fatihah merupakan surah pembuka dalam Al-Quran dan merupakan bagian penting dari salat. Surah ini harus dibaca dalam setiap rakaat salat, baik salat fardhu maupun sunnah. Membaca Al-Fatihah dilakukan dalam posisi berdiri setelah takbiratul ihram.

Rukuk

Rukun kelima adalah melakukan rukuk setelah membaca Al-Fatihah. Rukuk dilakukan dengan membungkukkan badan dari pinggang ke depan, sambil meletakkan kedua tangan di atas lutut. Pada posisi rukuk, tulang belakang sebaiknya lurus dan sejajar dengan lantai. Selama rukuk, membaca dzikir seperti “Subhanallah” (Maha Suci Allah) beberapa kali.

I’tidal

Rukun keenam adalah bangkit dari rukuk, kembali ke posisi berdiri tegak dengan tenang dan stabil. Saat melakukan i’tidal, mengucapkan kalimat “Sami’allahu liman hamidah” yang berarti “Allah mendengar orang yang memuji-Nya”. Kemudian, umat Muslim menjawab dengan mengucapkan “Rabbana wa lakal hamd” yang berarti “Ya Allah, segala puji bagi-Mu”.

Sumber: Liputan 6

Subscribe

- Never miss a story with notifications

- Gain full access to our premium content

- Browse free from up to 5 devices at once

Latest stories

spot_img