Kajian tentang gender berkembang pesat tidak hanya di kalangan mahasiswa namun juga ibu-ibu sosialita. Kajian ini biasanya membahas tentang kesetaraan perempuan baik di dalam rumah maupun di ruang publik. Yang akhirnya menimbulkan presepsi bahwa perempuan itu harus setara dengan laki-laki dalam segala bidang, khusunya dalam menerima hak.
Lantas bagaimana syara’ menjelaskan tentang fenomena ini? dan apakah dibenarkan jika perempuan itu harus setara dengan laki-laki dalam segala hal?
Perlu dikaji dan dipahami bahwa Islam sudah dijelaskan mengenai gender dalam surat an-Nisa’ ayat 34:
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما اتفقون مز أموالهم
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena itu Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafakahkan sebagian dari harta mereka.” (Q.S an-Nisa: 34)
Ayat di atas sudah menjelaskan bahwa kaum laki-laki diberi Allah kelebihan untuk memimpin dan menjadi penanggung jawab terhadap perempuan yang menjadi istrinya, hal ini mencakup segalah hal lebih-lebih dalam masalah nafakah. Ini selaras dengan penjelasan dalam kitab Zuhrah al-Tafasir oleh Imam Abu Zahrah, bahwasannya kata qowwamuna yang dimaksud dalam ayat tersebut bukan gelar bagi kaum laki-laki melainkan menjadi seseorang yang bertanggung jawab, menjaga, melindungi, mengayomi, dan mempertahankannya.
Dan perlu diketahui pula, pada dasarnya Islam tidak pernah bersikap diskriminatif terhadap kaum perempuan, bahkan telah berupaya mendudukkan pada posisi yang sesuai dengan porsinya. Lebih dari itu, ada hak perempuan yang mengungguli hak laki-laki, seperti hak hadlanah (mengasuh anak).
Oleh sebab itu, gerakan penyetaraan antara perempuan dengan laki-laki di segala bidang dengan tanpa mempertimbangkan faktor fisik, psikologis dan kewajiban yang diemban masing-masing pihak, adalah sesuatu yang tidak lazim dan tidak dibenarkan oleh syara’.
Terkait kebolehan perempuan bekerja ataupun tampil di ruang publik sudah dijelaskan dalam Muktamar ke-29 NU tahun 1994 di Cipasung, Tasikmalaya. Bahwa perempuan boleh-boleh saja bekerja ataupun melakukan aktifitas di luar rumah asalkan aman dari fitnah dan mendapat izin dari suami dan atau wali, maka hukumnya boleh. Namun, jika diduga terjadi fitnah, maka hukumnya haram dan dosa. Sedangkan jika takut terjadi fitnah, maka hukumnya makruh.
Dalam kitab Umdah Al-Qari Syarh Shahih Al-Bukhari disebutkan:
.عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ الْخَطَّابِ عَنِ النَّبِيِّ
قَالَ: إِذَا اسْتَأْذَنَتِ امْرَأَةُ أَحَدِكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلاَ يَمْنَعْهَا مُطَابَقَتُهُ لِلتَّرْجَمَةِ ظَاهِرَةٌ فِيْ الْمَسْجِدِ فِيْ غَيْرِ الْمَسْجِدِ بِالْقِيَاسِ عَلَيْهِ وَالشَّرْطُ فِيْ الْجَوَازِ فِيْهِمَا اْلأَمْنُ مِنَ الْفِتْنَةِ
Diriwayatkan dari Abdullah Ibn Umar Al-Khaththab, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Bersabda: “Jika istri salah seorang dari kalian meminta izin pergi ke mesjid, maka janganlah melarangnya.” (HR. Bukhari). Keserasian hadis ini dengan judul bab yang dibuat Imam Bukhari (Bab Permintaan Izin Istri kepada Suaminya untuk Pergi ke Masjid dan ke Selainnya), adalah wanita tersebut pergi ke masjid, dan perginya ke selain masjid dengan diqiyaskan padanya. Persyaratan bagi kebolehan pergi mesjid dan luar mesjid bagi seorang wanita adalah aman dari fitnah.
Sedangkan dalam Is’ad Al-Rafiq Syarh Sulam Al-Taufiq:
قَالَ فِيْ الزَّوَاجِرِ وَهُوَ مِنَ الْكَبَائِرِ لِصَرِيْحِ هَذِهِ اْلأَحَادِيْثِ وَيَنْبَغِيْ حَمْلُهُ لِيُوَافِقَ عَلَى قَوَاعِدِنَا عَلَى مَا إِذَا تَحَقَّقَتِ الْفِتْنَةُ أَمَّا مُجَرَّدُ خَشْيَتِهَا فَإِنَّمَا هُوَ مَكْرُوْهٌ وَمَعَ ظَنِّهَا حَرَامٌ غَيْرُ كَبِيْرٍ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ
Dalam kitab Al-Zawajir Ibn Hajar Al-Haitami berkata: “Sesuai dengan kejelasan hadis-hadis ini, maka (keluarnya wanita dari rumah) termasuk dosa besar. Agar pernyataan ini sesuai dengan kaidah-kaidah kita (madzhab Syafi’i), maka harus dipahami dalam keadaan jika memang benar-benar akan terjadi fitnah. Sementara jika hanya sekedar terdapat kekhawatiran terjadinya fitnah, maka hukumnya makruh. Sedangkan jika disertai dengan dugaan kuat adanya fitnah, maka hukumnya haram, namun bukan dosa besar.
Namun jika masih tidak menutup kemungkinan adanya hak-hak wanita yang belum diakomodir secara jelas oleh syara’. Seperti hak pendidikan, jual beli dan upah kerja. Jika gerakan feminisme sebatas memperjuangkan hak seperti ini, maka diperbolehkan.
Dan yang terpenting emansipasi adalah sebuah pilihan hidup, dan penilaian kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki ini juga harus dilihat dari sudut pandang kebiasaan (adah; bahasa arabnya) maupun budaya (urf).
Source: NU