Buku-buku karangan Gus Mus, panggilan akrab KH. A. Mustofa Bisri memang selalu menarik untuk disimak dan renungi pesan-pesannya. Salah satunya adalah buku yang tengah saya ulas kali ini, yakni “Pesan Islam Sehari-hari” (Memaknai Kesejukan Amar Ma’ruf Nahi Munkar).
Buku ini berisi kumpulan tulisan Gus Mus dengan tema beragam dan kaya akan renungan kehidupan. Salah satu tulisan yang menarik disimak berjudul “Mental Hakim”. Menurut beliau, hakim memang merupakan pekerjaan mulia, tapi barangkali sekaligus medeni (menakutkan). Apalagi bagi orang yang mengimani adanya Pengadilan Agung di hari Kiamat kelak.
Bagaimana tidak medeni? Ibaratnya ‘nasib’ seseorang tergantung pada palu yang ada di genggaman hakim. Bayangkan jika seorang hakim, karena pengetahuannya yang kurang atau karena ngawurnya, memvonis orang yang tak bersalah dengan hukuman mati, misalnya. Atau karena vonisnya, orang jadi kehilangan haknya. Apa tidak gawat? (hlm. 37-38).
Dalam tulisan tersebut, Gus Mus juga menyertakan sebuah hadis riwayat Abu Dawud dan Ibn Majah dari Buraidah. Sebuah hadis yang dapat menjadi bahan renungan bersama, khususnya bagi mereka yang berprofesi sebagai hakim, agar berusaha menjadi hakim yang adil dan jujur, hakim yang memiliki ilmu pengetahuan yang luas dan tidak seenaknya saja dalam memutuskan suatu perkara. Begini arti dari hadis tersebut:
“Hakim itu ada tiga; satu di surga dan dua yang lain di neraka; yang di surga adalah orang yang mengetahui kebenaran dan memutuskan dengannya. Seorang yang mengetahui kebenaran, tapi sewenang-wenang dalam menghakimi, dia di neraka. Seorang lagi menghakimi orang tanpa pengetahuan, ini pun di neraka”.
Tulisan lain yang layak direnungi berjudul ‘Rakyat Jelata Pun Berhak Didengar’. Dalam tulisan ini, Gus Mus menyinggung tentang pentingnya musyawarah dalam kehidupan sehari-hari. Beliau menjelaskan, musyawarah adalah salah satu prinsip ajaran Islam dalam memutuskan suatu urusan yang menyangkut kepentingan orang banyak.
Penting dipahami bahwa dalam mengadakan musyawarah, jangan hanya melibatkan orang-orang tertentu saja, melainkan juga berusaha melibatkan semua pihak dari berbagai kalangan, termasuk rakyat kecil. Terlebih bila musyawarah tersebut digelar untuk memutuskan sesuatu untuk kemaslahatan bersama.
Menurut Gus Mus, “Tentang siapa yang bisa diajak musyawarah, saya pikir tidak hanya terbatas kepada orang tertentu, rakyat jelata pun berhak memberikan permusyawaratannya kepada penguasa. Ini adalah prinsip dasar, seperti kita lihat praktik Rasulullah yang minta pendapat kalangan sahabat Anshar, meskipun tokoh-tokoh sahabat seperti Abu Bakar, Umar, dan lain-lain sudah menyatakan kesepakatan dan dukungannya…”.
Membaca buku karya Gus Mus yang diterbitkan oleh penerbit Laksana (Yogyakarta, 2018) ini dapat membantu kita lebih hati-hati dalam melakukan dan memutuskan sesuatu. Selamat membaca.
Sumber: Suara