Gaza merupakan wilayah Palestina yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Meski begitu, ada juga umat Kristen yang memanggil wilayah kantong itu sebagai rumahnya.
Dalam laporan Al Jazeera, saat ini ada 1.000 umat Kristen di Gaza, turun tajam dari 3.000 orang yang terdaftar pada 2007, ketika Hamas mengambil kendali penuh atas daerah kantong tersebut.
Menurut Kamel Ayyad, juru bicara Gereja Saint Porphyrius, mayoritas penganut Kristen berasal dari Gaza sendiri. Sisanya adalah pengungsi yang melarikan diri ke wilayah itu setelah pembentukan negara Israel, yang menyebabkan sekitar 700.000 warga Palestina mengungsi dalam sebuah peristiwa yang disebut sebagai Nakba, atau “bencana”.
“Pemerintahan Hamas menerapkan blokade darat, udara dan laut yang dipimpin Israel, sehingga mempercepat pelarian umat Kristen dari daerah kantong yang dilanda kemiskinan tersebut,” kata Ayyad kepada Al Jazeera, dikutip Senin (6/11/2023).
“Sangat sulit bagi masyarakat untuk tinggal di sini. Banyak orang Kristen berangkat ke Tepi Barat, ke Amerika, Kanada atau dunia Arab, mencari pendidikan dan kesehatan yang lebih baik.”
Warga Kristen Gaza sendiri memiliki corak yang unik karena mereka sering mengikuti beberapa aliran kekristenan secara bersamaan. Salah satunya adalah Fadi Salfiti, yang menghadiri semua gereja.
“Minggu pagi kami pergi ke gereja Ortodoks, sore hari kami ke gereja Katolik, dan malam hari kami ke gereja Protestan,” ujarnya.
Sejarah Kekristenan di Gaza
Warisan Kekristenan di Gaza sudah ada sejak masa ketika agama tersebut masih merupakan sekte teraniaya yang menjanjikan keselamatan bagi mereka yang tertindas.
Dalam Alkitab, setelah penyaliban Yesus Kristus, Rasul Filipus melakukan perjalanan melalui jalan gurun dari Yerusalem ke Gaza untuk memberitakan injil. Menurut Alkitab, Filipus hadir pada pesta pernikahan di Kana di Galilea, saat Yesus mengubah air menjadi anggur.
Gereja Saint Porphyrius adalah yang tertua di daerah Gaza. Awalnya didirikan pada abad ke-5 setelah kematian uskup eponymous yang mengubah orang-orang di wilayah itu menjadi Kristen. Setelah penaklukan Persia pada abad ke-7, gereja tersebut diubah menjadi masjid dan kemudian dibangun kembali oleh Tentara Salib pada abad ke-12.
Umat Kristen Palestina, yang berjumlah 50.000 orang di seluruh wilayah pendudukan, kadang disebut sebagai ‘batu hidup’, sebuah metafora yang pertama kali digunakan oleh Murid Yesus, Petrus, untuk menggambarkan peran orang-orang beriman dalam pembangunan ‘rumah rohani’ atau gereja. Saat ini, istilah tersebut mengacu pada status khusus mereka sebagai pemelihara agama yang lahir di tanah mereka.
Hubungan dengan Umat Islam
Hidup di bawah kepungan Israel, umat Kristiani di Gaza membuktikan semangat solidaritas dengan umat Islam dalam perjuangan mereka untuk bertahan hidup dan impian mereka untuk kebebasan.
“Kami semua adalah warga Palestina. Kami tinggal di kota yang sama, dengan penderitaan yang sama. Kita semua dikepung dan semuanya sama,” kata Ayyad.
Secara umum, komunitas Kristen selalu memainkan peran penting dalam kehidupan Palestina, menghasilkan tokoh-tokoh seperti Issa El-Issa, pendiri surat kabar berpengaruh yang berbasis di Jaffa, Falastin, dan Edward Said, yang mengungkapkan rasa puas diri Barat terhadap Timur dalam bukunya, Orientalisme.
Salfiti juga mengungkapkan hal yang sama. YMCA, misalnya, menawarkan kegiatan olahraga, seni, pendidikan dan kesejahteraan bagi warga Palestina di Gaza dari semua agama. Program ini pun dikelola oleh umat Kristen.
Rumah Sakit Arab Al-Ahli, yang hancur akibat serangan udara Israel bulan lalu, dan menewaskan ratusan orang, dimiliki dan dioperasikan oleh penganut Anglikan.
“Mereka cenderung berpendidikan tinggi, memiliki kehadiran yang kuat dalam dunia bisnis dan sektor sukarela,” kata Salfiti.
Kehidupan Kristen di Gaza
Di bawah pengeboman Israel baru-baru ini, ratusan umat Kristen dan Muslim sama-sama mencari perlindungan di Gereja Saint Porphyrius. Setelah terjadi pemboman lainnya, mereka semua pindah ke Gereja Keluarga Kudus terdekat, yang terletak 400 meter jauhnya.
Pastor paroki Gabriel Romanelli telah terdampar di Betlehem sejak perang dimulai dan tetap berhubungan dengan umatnya. Dalam pesannya yang direkam pada 24 Oktober, ia menyerukan agar pemboman dihentikan dan koridor kemanusiaan dibuka.
“Tolong, beri tahu mereka bahwa paroki dipenuhi oleh masyarakat biasa dan tetangga Muslim. Mereka adalah warga sipil yang tidak menimbulkan bahaya bagi siapa pun,” katanya.
Sumber: CNBC